GADGET

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TONY BUZAN, Make the Best of Your Mind, Colt Books Ltd., 1984.

BART KOSKO, “Fuzzy Cognitive Maps”. International Journal of Man-Machine Studies 24:65-75, 1986.

HOKKY SITUNGKIR, Penggunaan Fuzzy Cognitive Mapping dalam Analisis Sosial, Working Paper WPJ2004. Bandung Fe Institute, 2004.

GEORGE P. RICHARDSON, Feedback Thought in Social Science and Systems Theory, University of Pennsylvania Press, 1991.

GADGET: Peta Kognitif Fuzzy

Psikolog kenamaan, Tony Buzan semenjak tahun 1970-an mengkampanyekan penggunaan peta pikiran dalam menggambarkan dan mengkomunikasikan cara berfikir secara terstruktur . Dalam peta pikiran a la Buzan, kita menggambarkan berbagai hal yang kita anggap berkenaan dengan sistem yang kita dekati dalam gambar-gambar, warna-warna, dan kata-kata garis besar yang kita anggap penting. Hal ini dianggap dapat memudahkan proses pengajaran dalam pendidikan atau mengkomunikasikan sesuatu hal peda orang lain. Namun tentu saja, kegunaan dari peta pikiran ini lebih kepada antar muka antara masyarakat terdidik. Peta pikiran semacam ini tentu dapat dianggap sebagai bentuk primer dari peta kognitif.

Peta kognitif yang dimaksud di sini adalah abstraksi permasalahan yang ditemui oleh pengamat yang kemudian dapat digambarkan dalam model peta diagram kausal. Dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa peta diagram kausal adalah skema graf berarah yang menggambarkan hubungan/relasi sebab-akibat antara variabel-variabel permasalahan yang diamati berdasarkan keyakinan dari pengamat.

Pemodelan sistem dinamik secara komputasional saat ini tengah berkembang dengan sangat pesat, bahkan di beberapa negara maju telah diterapkan pada siswa-siswi sekolah dasar agar mereka terbiasa dengan pemikiran konstruktif yang terstruktur . Secara garis besar dapat dikatakan bahwa diagram kausal dan sistem dinamik memberikan kesempatan reasoning yang lebih baik dengan dimungkinkannya dilakukan berbagai simulasi atas model yang kita implementasikan sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimiliki. Simulasi sistem dinamik dengan sistem diagram kausal mendasarkan diri pada persamaan diferensial dan keketatan logika tradisional antara yang benar dan salah. Yang ingin kita ketengahkan dalam makalah ini adalah bentuk lebih jauh, yakni bentuk-bentuk diagram kausal yang titik-titiknya disusun dengan elemen-elemen logika fuzzy, yakni logika yang tidak bersandar pada absolutisme “benar” dan “salah” dengan menggunakan konsep “agak benar” atau “agak salah”. Peta kognitif fuzzy ini dikenalkan oleh guru logika fuzzy, Bart Kosko, sebagai perpaduan antara logika fuzzy dan model jaring saraf .

Dalam hal ini, kita dapat mendefinisikan peta kognitif fuzzy sebagai graf berarah dengan konsep-konsep kualitas yang disusun sebagai anggota himpunan fuzzy berupa keputusan, kejadian dan sebagainya yang digambarkan sebagai titik dan sifat kausal yang menggambarkan keterhubungan antar konsep tersebut sebagai sisi.

Hubungan kausal antara tiap titik dalam peta kognitif fuzzy (A dan B, dst.) dapat berhubungan lurus (biasanya diberi tanda “+1” atau “+” saja. Artinya jika kualitas dari konsep A membesar maka kualitas konsep B juga membesar, sebaliknya jika kualitas konsep A mengecil maka kualitas konsep B juga mengecil. Di sisi lain, hubungan kausal ini pun dapat berkebalikan, biasanya diberi tanda “-1” atau “-“ saja. Dalam hal ini, jika kualitas konsep A membesar maka kualitas B mengecil dan sebaliknya. Hubungan antara titik-titik dalam peta kognitif fuzzyyang tidak diberi garis sisi (keterhubungan) dikatakan sebagai tidak memiliki hubungan sebab-akibat secara langsung. Keterhubungan ini biasanya diberikan tanda “0”. Namun tentu saja, keterhubugan antara dua konsep dalam peta kognitif fuzzy tidak melulu {-1,0,1}. Keterhubungan tersebut pada dasarnya dapat berupa anggota bilangan riil antara 0 dan 1 dan lawannya.

Berikut sebuah contoh peta kognitif fuzzy:


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DANIEL DENNET, Darwin's dangerous idea, Penguin, 1995.

RICHARD DAWKINS, The selfish gene, Oxford University Press, 1982.

R. BRODIE, Viruses of the Mind: The New Science of the Meme, Integral Press, 1996.

ROBERT AXELROD, “The Dissemination of Culture: A Model with Local Convergence and Global Polarization”, The Journal of Conflict Resolution 41(2):203-26, 1997.

STUART HALL, Culture, Media, Language, Hutchinson, 1980.

TIKTIK DEWI SARTIKA, Tracing Cultural Evolution through Memetics, Working Paper WPF2004, Bandung Fe Institute, 2004.

HOKKY SITUNGKIR, On Selfish Memes, Working Paper WPG2004, Bandung Fe Institute, 2004.

GADGET: Memetika

Richard Dawkins, seorang zoolog Inggris menemukan dan mempopulerkan unit mendasar evolusi budaya, yaitu meme. Ia melanjutkan evolusi genetik ke dunia manusia. Sehingga ia menyimpulkan bahwa proses replikasi juga terjadi pada budaya manusia. Dawkins mengungkapkan bahwa sebuah terminologi, yaitu meme merupakan unit informasi yang berada di otak dan merupakan replikator dari evolusi kultural manusia. Unit ini menyerupai karakter dalam gen, yakni dapat mereplikasi-diri dan bermutasi. Ia memiliki pola dan dapat mempengaruhi lingkungannya dan mempropagasi dirinya kepada otak lain di sekitarnya. Satu unit informasi bisa berupa satu not nada, bisa juga satu kesatuan simfoni, bisa suatu kalimat atau gagasan, juga bisa berupa satu keyakinan, pokoknya ia merupakan abstraksi yang dapat disimpan dalam memori manusia. Proses evolusi dengan replikator meme disebut sebagai proses yang memetik. Keluasan makna unit informasi memunculkan banyak definisi meme oleh banyak ilmuwan.

Sebagai replikator, informasi dalam meme dikopi dan diseleksi. Seperti informasi genetik mungkin untuk termutasi, maka pengkopian informasi meme pun rentan dengan penyimpangan. Hal ini dikarenakan di tingkatan ekspresinya, meme ditanggapi berbeda sesuai kapasitas otak penerimanya. Ini berarti akan terdapat banyak interpretasi. Maka meme akan mengalami variasi, dan hanya sebagian varian yang fit saja yang dapat stabil bertahan atau mendominasi. Karena hal-hal tersebut, maka meme dan selanjutnya budaya manusia berevolusi.

Dawkins mengatakan bahwa cara meme bereplikasi adalah melalui imitasi. Karena pada hakikatnya informasi itu dikopi atau ditiru polanya oleh perekam informasi, otak. Seperti mesin fotokopi, meniru informasi dari suatu sumber informasi (misalnya ucapan orang, ekspresi orang, teks dalam buku) dan disimpan dalam otak. Peniru atau imitator berusaha mengkopi informasi se-sama mungkin dengan aslinya (model), namun seperti mesin yang tidak bisa benar-benar meniru aslinya, (Anda pasti bisa membedakan hasil fotokopi dengan kertas aslinya). Pasti ada sedikit perbedaan hasil kopi kan, meskipun pada esensi informasi itu mungkin sama. Kemampuan otak manusia berbeda-beda dalam meniru suatu model. Murid yang pintar mungkin dapat memahami (baca: mengimitasi) suatu konsep dalam pelajaran fisika misalnya, sehingga konsep (baca: meme teori fisika) tersebut dapat ia gunakan untuk menafsirkan berbagai persoalan fisika, misal relativitas massa. Namun, cara murid tersebut menuliskan penyelesaian fisika pasti tidak benar-benar sama dengan cara Einstein (sebagai model yang ingin ditiru) menyelesaikan persoalan yang sama. Hal ini menuntut kapasitas belajar otak manusia untuk mengimitasi meme dari suatu model.

Dikarenakan proses belajar manusia berbeda satu sama lainnya, maka ketepatan tiruan (fidelity) proses replikasi/pengkopian (dalam meme lebih tepat disebut imitasi) dalam proses yang memetik menjadi rendah. Dengan kata lain, bahwa tingkat mutasi (bila kita katakan penyimpangan itu sebagai mutasi) meme dalam evolusi memetik sangatlah tinggi, bahkan ia terjadi pada setiap proses imitasi. Hal ini menjadi menarik, manakala kita menyaksikan keteraturan atau pola-pola kultural yang teratur dalam masyarakat.

http://zebu.uoregon.edu