|
METODE:
manusia >> masyarakat
Namun
apa bisa kita menggambarkan manusia dalam komputasi dengan berbekalkan
kemampuan kita menangkap dinamika hewan seperti burung? Bukankah manusia
lebih tinggi derajat kebebasannya? Manusia 'kan mengenal politik, ekonomi,
uang, budaya, mode, hiburan, dan seterusnya yang rumitnya amit-amit jika
dibandingkan dengan sekadar burung yang berusaha bergerak maju dan menghindari
obyek yang menghalanginya terbang? Apa ini tak terlalu naif?
Kehidupan sosial
manusia sangat kompleks. Namun kompleksitas sosial tersebut bersifat sintaktik,
karena kompleksitasnya berasal dari ribetnya interaksi-interaksi di antara
individu-individu dan perilakunya di dalam masyarakat tersebut. Semua
individu memiliki konsep diri: "aku", "saya", dan
interaksi mereka sangat bersesuaian dengan pola sosial yang mereka lihat:
"mereka", "dia", "beliau", dan seterusnya.
Pun lagi, keputusan manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam
mengakuisisi informasi sedemikian sehingga ia dapat berinteraksi dengan
banyak obyek yang bukan manusia seperti: "buku", "komputer",
"jam", dan sebagainya.
Kebanyakan sosiolog
konvensional mungkin akan berkomentar seperti ini, "ah, pandangan
ini terlalu behavioristik....". Behavioristik maksudnya adalah
melihat individu manusia sangat terbatas pada perilaku yang berdasarkan
responnya terhadap stimulasi dari lingkungannya. Namun sebagaimana kita
ketahui, keutuhan memandang manusia secara individu memang hampir tak
mungkin dilakukan tatkala kita berbicara soal budaya, ekonomi, politik,
dan sebagainya. Keutuhan manusia individu hanya bisa dilakukan dengan
melihat individu tersebut secara sempurna, kesendiriannya dalam keputusannya,
kemampuan persepsi inderawinya, jalannya rangsang saraf ke otak, neuron-neuronnya,
dan seterusnya - namun diskusi seperti ini bukan sosiologi tempatnya.
SOSIOLOGI adalah ilmu tentang kehidupan MASYARAKAT. Kita memperhatikan
individu sejauh kemampuan kontributifnya dalam mempengaruhi DINAMIKA masyarakat.
Masih terkesan behavioristik?
Guru besar ilmu politik
Michigan University, Robert Axelrod, menyarankan
bahwa dalam konstruksi sistem sosial berbasis komputasi, harus memegang
teguh slogan:
KISS
= KEEP IT SIMPLE, STUPID!
artinya, jangan pernah
berharap berharap mengkonstruksi sistem sosial masyarakat secara UTUH
menyeluruh, secara keseluruhan! Aspek sosial yang hendak dikonstruksi
teorinya harus benar-benar memperhatikan ASPEK
apa yang hendak dilihat, yang nantinya dibagi-bagi dalam perspektif beberapa
SUB-ASPEK, dan seterusnya.
Kita harus sadar bahwa kemampuan peneliti sosial sangat terbatas pada
beberapa aspek saja. Tidak ada teoretisi sosial yang akan pernah benar-benar
mampu memahami sistem sosial sebenar-benarnya di segala tempat dan penjuru.
...harus diingat
bahwa fenomena sosial yang kita amati adalah bentuk akumulasi dari interaksi
masyarakat, baik itu struktur, perubahan sosial, pola dan tren, perjuangan
kelas sosial, budaya, hegemoni, dan seterusnya.
Slogan KISS menunjukkan
bahwa kita harus memulai hal yang sangat SEDERHANA
di tingkat mikro/agen dan melihat bagaimana
pola sederhana ini menghasilkan kompleksitas sintaksis
pada level sosial dan masyarakatnya. Itulah sebabnya sangat dimungkinkan
terdapat berbagai macam konstruksi teori sosial nantinya dengan metode
ini, karena peneliti sosial tentu akan mengkonstruksi teori sosial dari
ATURAN SEDERHANA atas ASPEK
SOSIAL yang berbeda dan atas TEMPAT/LOKASI
di mana masyarakatnya tersebut hidup.
Ini dikenal dengan
sebutan: ilmu sosial yang bersifat SPASIO-TEMPORAL!
Karena wajah sosiologi akan sangat berbeda di pemilihan/voting, di pasar
bursa saham, di pasar tradisional, di tempat ibadah, di kampung, di kota,
termasuk di Indonesia, di Amerika, Jepang, Ghana, dan seterusnya. Inilah
mengapa kehadiran analisis sosiologi kontemporer merupakan bentuk pendamaian
sosiologi TOP-DOWN dan sosiologi BOTTOM-UP! Ini adalah fundamen dasar
sosiologi komputasional dari bawah ke atas, sebagaimana pertama kali distrukturkan
oleh analis sosial dari The Brookings Institute, Robert
Axtell dan Joshua Epstein.
|
...
we shall refer to agent based models of social processes as artificial
societies. In this approach fundamental social structures and
group behaviors emerge from the interaction of individuals operating
in artificial environments under rules that place only bounded
demands on each agents information and computational capacity.
We view artificial societies as laboratories, where we attempt
to grow certain social structures on the computer-
or in silico - the aim being to discover fundamental local or
micromechanisms that are sufficient to generate the macroscopic
social structures and behaviors of interest...
|
Epstein
& Axtell
|
Advancing
the state of the art of simulation in the social sciences requires
appreciating the unique value of simulation as a third way of
doing science, in contrast to both induction and deduction.
|
Bob
Axelrod
|
|
|
METODE:
Jenis-jenis kebrojolan sosial
Pada dasarnya ada
dua pola membrojol yang ada dalam sistem sosial yang dianalisis dengan
model komputasional, yaitu:
--> Struktur
Membrojol
Struktur membrojol adalah struktur sosial yang ditemukan setelah konstruksi
simulasi komputasi. Bagaimana terjadinya perolehan suara partai-partai,
bagaimana terjadinya pembagian kelas sosial ekonomi, bagaimana terjadinya
segregasi ras atau suku pada sekelompok masyarakat yang heterogen, dan
seterusnya.
--> Keteraturan
Membrojol
Sifat ini diperoleh setelah simulasi komputasional yang menghasilkan pola
homogen dari sebuah struktur sosial yang mungkin bersifat acak. Misalnya,
bagaimana munculnya kerja sama dari individu-individu yang saling egois,
persebaran gosip dan rumor di antara masyarakat, pola epidemik penyakit,
dan seterusnya.
|
|
J.
S. COLEMAN, Foundations of Social Theory, Harvard Univ. Press,
1990.
R.
HEGSELMANN, A. FLACHE, "Understanding Complex Social Dynamics:
A Plea for Cellular Automata Based Modelling". Journal of Artificial
Societies and Social Simulations 1(3), 1998.
R.
K. SAWYER, "Artificial Societies: Multiagent Systems and Micro-Macro
Link in Sociological Theory", Sociological Methods & Research
31(3), 2003.
B.
HALPIN, "Simulation in Sociology". American Behavioral
Sciences 42(10):1488-508, 1999.
D.
L. KIEL, E. ELLIOT (ed.), Chaos Theory in the Social Sciences: Foundations
and Applications, University of Michigan Press, 1997.
J.
M. EPSTEIN, R. AXTELL, Growing Artificial Societies: Social Science
from the Bottom Up, The Brookings Institution Press dan MIT Press,
1996.
M.W.
MACY, R. WILLER, "From Factors to Actors: Computational Sociology
and Agent Based Modeling", Annual Reviews Sociology (28): 143-166,
2002.
STUART
KAUFFMAN, At Home in the Universe: The Search for Laws of Self-Organization
and Complexity, Oxford University Press.1995.
|
METODE:
antara model, teori, dan data
Konsep KEBROJOLAN,
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sosiologi dalam rangka menyatukan
semua pecahan-pecahan teori sosiologi yang ada selama perkembangan sosiologi.
Melalui konsep ini, diharapkan apa yang tadinya spekulatif menjadi teruji
keberadaannya. Simulasi sosial secara komputasional dalam hal ini merupakan
sebuah bentuk upaya untuk memperdamaikan metode, teori dan data yang selama
ini cenderung terpisah dalam sosiologi, di samping memberi kita peluang
untuk memperketat konstruksi teori sosial yang ada.
Pendekatan ini disebut
juga sebagai pendekatan yang BOTTOM-UP, karena kita melihat perubahan
global dari sistem sosial dari interaksi yang menyebabkan terjadinya sifat-sifat
global tersebut, yaitu interaksi di antara individu penyusun masyarakat
tersebut. Pendekatan sebelumnya, yang sekadar mendeteksi kondisi global
berdasarkan asumsi atas bagian obyek yang hendak didekati dikenal dengan
sebutan metode TOP-DOWN.
Contoh sederhana
adalah hal yang sering terjadi dalam persebaran mode pakaian atau naik-turunnya
harga sebuah komoditas. Pendekatan TOP-DOWN cenderung melihat tren pakaian
yang terjadi dan perubahan yang ada, dan berusaha untuk melihat alasan
mengapa terjadi perubahan mode pakaian. Spekulasi-spekulasi teoretis seperti
"sekarang sedang zamannya globalisasi yang mendorong keseragaman
dalam mode pakaian", atau "terkikisnya nilai-nilai dan norma",
dan seterusnya. Akibatnya sering terjadi perdebatan di sini, padahal spekulasi
yang ditawarkan terjadi pada level MIKRO sementara trennya pada level
MAKRO. Dalam kasus naik-turunnya harga saham, misalnya. Mengapa harga
saham tiba-tiba naik? Spekulasi yang biasa ditawarkan adalah spekulasi
di level MIKRO seperti "investor sedang percaya pada bursa".
Demikian pula naik turunnya inflasi (LEVEL MAKRO), sering dengan spekulatif
dikaitkan dengan pengangguran, dan sebagainya.
Jelas sekali, tren
mode pakaian terjadi karena banyak orang yang membeli dan mengenakan sebuah
mode pakaian, dan penjelasan seharusnya dibangun dari analisis struktur
dan pola yang ada di sekitar pembeli dan pemakai mode tersebut dan interaksi
di antara merek. Harga saham sangat bergantung pada interaksi antar investor,
apalagi variabel ekonomi serumit inflasi.
Kebrojolan dari pola
yang sangat sederhana di level MIKRO menjadi perihal/perubahan yang rumit
di level MAKRO merupakan inti dari konstruksi teoretis dari sosiologi
komputasional. Hingga hari ini, berbagai verifikasi teoretis dibangun
berdasarkan teori sosiologi terdahulu mulai dari teori konflik, interaksionisme,
dan seterusnya. Menarik, karena sosiologi ternyata memang tak seumum sebelumnya.
Ada beberapa hal yang menjadi berbeda di tiap daerah penelitian karena
memang kita menganalisis struktur sosial/kolektif berdasarkan interaksi
di level mikro dari sistem sosial tersebut.
Secara ringkas hal
ini digambarkan dalam diagram di bawah ini, fenomena sosial A yang berubah
menjadi fenomena B, pada dasarnya diakibatkan terjadinya perubahan pola
interaksi level mikro A1 --> B1, A2 --> B2, dan seterusnya.
|
|