MAX
WEBER, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated
by Talcott Parsons, Scribners, 1930.
MAX WEBER, The Sociology of Religion, translated
by E. Fischoff, Beacon Press, 1963.
THEODOR
ADORNO & MAX HORKHEIMER, The Culture Industry: Enlightenment
as Mass Deception, Continuum, 1993.
HERBERT
MARCUSE, One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced
Industrial Society, Beacon Press, 1966.
JUERGEN
HABERMAS, Knowledge and Human Interests, transl. Jeremy J. Saphiro,
Beacon Press, 1971.
DANIEL
BELL, The Coming of Post-Industrial Society, Basic Books, 1973.
|
MERETAS
JALAN SOSIOLOGI: marxisme baru dan teori kritis
Banyak
orang bilang media massa itu jahat, karena media massa itu bisa membentuk
opini publik. Ia bisa menggiring pendapat orang, dan membentuk sikap dari
pendapat umum. Sinetron dan telenovela dikritik karena dapat membuai masyarakat
dari keseharian persoalan, demikian pula MTv yang memiliki peluang menentukan
genre musik yang tren saat ini atau kapanpun. Televisi yang menampilkan
hasil poling yang tak adil dikritik karena dapat mempengaruhi pasar pemilihan.
Ini menjadi dasar teori kritis, teori yang muncul dari perubahan yang
besar dalam pemikiran marxisme klasik. Ia menyentuh mode pakaian, aksen
bicara, musik pop, dan sebagainya.
Max
Weber (1864-1920),
pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa
tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu
dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya
menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial.
Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk
membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan
atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide
religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses
pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme
agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan
religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar
faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang
yang lebih kaya.
Kegelisahan teoretis
yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala
motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan
teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab
Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute
for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun
1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak
lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan
atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus
marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar
pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang
dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog
klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud
(1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan
keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk
budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt
Max Horkheimer (18951973) dan Theodor
Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda
teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban
barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan
konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam
semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti
oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse
(1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen
Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris
atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran
Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial
yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode,
dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis
atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak
lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan
sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di
kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan
agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga hari ini,
neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan
teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki
motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme
di tengah-tengah masyarakat.
|
If
we thus ask, "Why should money be made out of men?,"
Benjamin Franklin himself, although he was a colorless deist,
answers in his autobiography with a quotation from the Bible.
|
Max Weber
|
Culture
is a paradoxical commodity. So completely is it subject
to the law of exchange that it is no longer exchanged; it is so
blindly consumed in use that it can no longer be used.
|
Max Horkheimer
|
Marx
did not develop this idea of the science of man. By equating critique
with natural science, he disavowed it. Materialist scientism only
reconfirms what absolute idealism had already accomplished: 'the
elimination of epistemology in favour of unchained universal "scientific
knowledge" - but this time of scientific materialism instead
of absolute knowledge. |
Juergen Habermas |
|
RALF
DAHRENDORF, Classs and Class Conflict in Industrial Society. Stanford
University Press, 1959.
RALF DAHRENDORF, "Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological
Analysis". Ammerican Journal of Sociology 64, 1958.
PITIRIM
SOROKIN, Sociological Theories of Today, Harper & Row, 1966.
GEORG SIMMEL, The Sociology of Georg Simmel,
transl. & edited by Kurt H. Wolff, Free Press, 1950.
LEWIS COSER, Georg Simmel, Prentice Hall,
1965.
RANDALL COLLINS, Conflict Sociology: Toward and
Explanatory Science, Academic Press, 1975.
LEWIS COSER, The Functions of Social Conflict, Free Press, 1956.
|
MERETAS
JALAN SOSIOLOGI: konflik
Seorang
direktur jatuh cinta pada seorang karyawatinya yang juga sedang memadu
cinta dengan karyawan lain. Karyawan ini ternyata memang sudah dimak-comblangi
oleh teman-temannya yang lain. Mereka tak tahu sebelumnya bahwa sang direktur
menyimpan hati atas karyawati tersebut, karena kebetulan hanya karyawan
dan karyawati tersebut yang belum menikah di sana. Apa yang terjadi? Konflik
dalam perusahaan. Konflik yang akan berakhir dengan perubahan tatanan
sosial dalam perusahaan tersebut. Sang direktur akan menjadi tak lagi
fokus pada pekerjaannya, ia berusaha mencari waktu untuk memberi tugas
pada karyawatinya. Pun hal ini juga dilakukan oleh karyawan yang sedang
mabuk kepayang. Karyawati tersebut menjadi bingung. Struktur sosial perusahaan
bisa berubah dengan sangat cepat. Jika anda seorang konsultan tenaga kerja
dan dimintai nasehat untuk mengatasi masalah ini, apa yang akan anda lakukan?
Dinamika sebuah sistem sosial terjadi atas peta konflik yang terjadi dalam
sistem tersebut. Secara sederhana, inilah dasar cara pandang teori konflik
yang akhirnya berbicara tentang banyak hal soal struktur sosial dan perubahannya.
Selain kemunculan
teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi
pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf
Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial
pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis
konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme
atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka
Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi
Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi
(baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat
produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi
dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara
imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang
struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial.
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang
berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu
saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu
sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya
dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak
memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa
berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik
antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa
kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada.
Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur
otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya.
Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas
sosial lainnya.
Sebelumnya, Georg
Simmel (18581918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah
mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan
salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap
bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang
sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal
dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman
manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia
merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah
teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat,
Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada
konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara
keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai
hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan
keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik
justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat,
teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan
pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C.
Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme
melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan
Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi
telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya
tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian
besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan
mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer.
Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya
di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi
namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi,
hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi,
teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi
berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan
keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari
adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan
politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada
fungsionalisme yang meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan
peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh
makhluk hidup.
Ringkasnya, ada sedikitnya
empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain:
1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya
seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi
dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme,
namun lebih kepada KOMPETISI.
2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam
hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan
keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik
antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar
adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner
daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya,
teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya
oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins,
yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins,
struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari
pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur
sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun
masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa
yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam
masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu
dalam masyarakat tersebut. Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya
dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme
dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya
tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta
alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin
besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu
kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando.
Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara
seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus
partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya,
seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori
konflik, dan interaksionisme simbol.
|
...the
imperatively coordinated asssociation has latent interests ...
with those of quasi-group...
|
Ralf Dahrendorf
|
We
think we actually understand things only when we have traced them
back to what we do not understand and cannot understand--to causality,
to axioms, to God, to character.
|
Georg Simmel
|
A
strategic problem in building scientific explanation is to decide
on the most important dimensions of analysis. Progress is made
when we discover that certain dimensions are more productive
than others. These become the basic concepts of the empirical
domain and the useful theorizing gets done with them.
|
Randall Collins
|
|