IAN CRAIB (1992), Modern Social
Theory: From Parsons to Habermas, 2nd edition, Harvester Wheatsheaf.
THOMAS KUHN (1970), The Structure
of Scientific Revolutions, The University of Chicago Press.
MICHEL FOUCAULT (1976), The Archaelogy
of Knowledge, Tavistock Publ. Limited.
|
SOSIOLOGI
SEBAGAI ILMU: perangkap teori
Terkadang kata teori
memang menakutkan. Beberapa teori sosial seringkali sulit dipahami, dangkal,
atau bahkan tak memiliki tujuan yang jelas. Terkadang pembaca teori-teori
sosial tak mengerti apa sebenarnya yang mereka baca. Namun bagaimanapun
teori sangat berguna dalam memahami sistem yang hendak didekati. Teori
sosial sepantasnya berguna untuk mendekati sistem sosial. Konstruksi teori
adalah sebuah tahapan dari seluruh pekerjaan dan metodologi ilmiah. Teori
lahir dari serangkaian perjuangan yang menggunakan akal sehat, hipotesis,
dan eksperimen yang dapat digunakan di luar laboratorium dan sekadar impian
para ilmuwan. Teori sosial adalah teori yang tak menggunakan kelinci sebagai
obyek percobaan, tak pula memiliki larutan kimia atau proposisi logika
yang hendak dipermainkan sedemikian oleh para ilmuwan sebagaimana para
fisikawan, kimiawan, atau matematikawan. Teori sosial berada di area gejala
yang terlihat di siang hari selama riset dan malam hari menjadi bahan
perenungan para ilmuwan sosial. Mungkin boleh-boleh saja para ilmuwan
memodelkan aktivitas manusia sebagai aktivitas elektron, dan berbagai
benda-benda elementer yang unik sebagaimana yang didekati para fisikawan,
namun yang pasti elektron memiliki rule dan hukum yang jelas yang
selalu dipatuhi olehnya. Aktivitas sebuah elektron akan jelas jika berada
di dalam medan listrik positif atau negatif, namun tingkah laku manusia
tidak mengikuti rule atau hukum se-teratur elektron. Manusia jauh
lebih liar, tingkah lakunya berada di dalam lingkaran chaotik yang pendekatan
sederhana tak akan mampu mendekatinya. Meski ini kedengaran sebagai sebuah
apologia bagi teoretisi sosial, atas kerumitan yang dikandung konstruksi
ilmiah teori sosial, namun ini bukanlah hal yang mudah untuk menerima
kesulitan yang timbul saat memahami sebuah teori sosial. Dalam proses
pemikiran teoretis beberapa hal bisa menjadi salah dan ini menjadi hal
yang membingungkan.
Secara mendasar,
ada beberapa perangkap di dalam pemikiran teoretis:
1. perangkap
teka-teki silang.
Ironis, karena buku yang paling banyak berpengaruh dalam perkembangan
ilmu sosial secara ironis bukanlah buku-buku sosiologi, melainkan justru
buku-buku dari ilmu alam. Aktivitas ilmuwan sosial seringkali (sebagaimana
ilmuwan ilmu alam) berupaya untuk melakukan manipulasi beberapa aspek
alami yang diisolasi dalam beberapa situasi eksperimental untuk memuaskan
paradigma. Ini seperti permainan teka-teki silang: kotak-kotak telah ada
sedemikian dan kita mengisi kotak-kotak kosong itu dengan petunjuk yang
ada sebagai pertanyaan dari teka-teki silang tersebut. Kompleksitas yang
ada di kawasan sistem sosial seringkali tak disadari dan hal ini memberikan
upaya untuk mengejar metanarasi dalam ilmu sosial yang akhirnya melahirkan
reduksi, mereduksi kompleksitas menjadi sekumpulan konsep teoretis yang
tak bisa berbunyi apa-apa di tataran praksis.
2. perangkap
penggoda pikiran.
Seringkali dalam upaya menjelaskan sesuatu hal pemikiran teoretik terjebak
ke dalam penjelasan sekunder ke hal lain yang jauh dari permasalahan yang
seharusnya didekati. Itulah barangkali sebabnya ada tren untuk melakukan
kritik terhadap teori-teori sebelumnya semenjak zaman pencerahan. Ilmuwan
sosial seringkali tergoda untuk berbicara berbagai hal yang
jauh dari permasalahan yang sedang dihadapi dalam realitas sosial, mungkin
sebagai contoh adalah perdebatan pengertian kemiskinan, suatu
hal yang jauh dari kemiskinan yang benar-benar terjadi dalam realitas
sosial. Ini tentu dapat dikatakan terjadi dari berbagai faktor semiologis
tekstual sebagai rahim dari segala bentuk teori.
3. perangkap
logika.
boleh jadi sesuatu yang aneh, sebab sebuah teori tentunya berasal dari
upaya mencari koherensi logis dari berbagai fakta atau bagian-bagian yang
hendak didekati oleh ilmu sosial. Dalam perkembangan teori sosial pada
dasarnya kita bisa melihat bahwa saat pendekatan teoretis berusaha mencari
koherensi internal, secara umum dunia ini berjalan secara ilogis
atau berjalan dengan logika yang lain dari logika yang ditemui secara
internal. Seringkali teoretisi sosial menemukan faktor membrojol yang
tak diduga-duga sebelumnya bakal muncul dalam realitasnya sekaligus,
inilah yang menjadi kelemahan teori sosial bersangkutan.
4. perangkap
deskripsi.
di mana seringkali deskripsi yang dilakukan dalam konstruksi sebuah teori
sosial ternyata keliru, hal ini ditemui saat dilakukan upaya implementatif
dari teori tersebut. Seringkali ada kecenderungan untuk sulit membedakan
mana deskripsi dan mana penjelasan. Sangat sering ilmuwan sosial merasa
sudah menjelaskan sesuatu padahal sebenarnya hanya melakukan deskripsi,
yang berakibat teori tersebut tidak mengatakan apa-apa. Teori sosial seringkali
hanya melakukan deskripsi tanpa menjelaskan.
|
|
|
SOSIOLOGI
SEBAGAI ILMU: dimensi
Untuk mencegah kita
terjebak dalam perangkap-perangkap teoretik, kita akan mencoba mendiskusikan
dimensi-dimensi ilmu sosial. Pada dasarnya, dikenal empat jenis dimensi
dalam pendekatan teori sosial.
1. Dimensi kognitif.
Dalam dimensi ini, ilmuwan sosial akan selalu berbicara mengenai teori
sosial sebagai cara untuk membangun pengetahuan tentang dunia sosial.
Di sini terletak epistemologi yang membangun berbagai metodologi penelitian
sosial.
2. Dimensi
afektif.
Merupakan sebuah kondisi di mana teori yang dibangun memuat pengalaman
dan perasaan dari teoretisi yang bersangkutan. Dimensi ini mempengaruhi
keinginan untuk mengetahui (to know) dan menjadi benar (to be right)
kedua hal ini bertitik berat kepada kejadian tertentu dan realitas eksternal.
3. Dimensi
reflektif.
Di sini, teori sosial harus menjadi bagian dari dunia sebagaimana ia menjadi
cara untuk memahami dunia. Dengan kata lain, teori sosial harus mencerminkan
apa yang terjadi di luar sana dan apa yang terjadi pada kita sebagai salah
satu elemen dari sistem sosial yang ada.
4. Dimensi
normatif, yang memperluas dimensi ketiga.
Dalam dimensi ini, teori sosial sepantasnya memuat secara implisit ataupun
eksplisit tentang bagaimana seharusnya dunia yang direfleksikannya itu.
Keempat dimensi ini membangun seluruh pendekatan dalam proses kostruksi
teori-teori sosial yang ada.
|
|