VLADIMIR
DIMITROV, A New Kind of Social Science: Study of Self-Organization
in Human Dynamics, Lulu Press, 2003.
R.
K. SAWYER, Durkheims Dilemma: Toward a Sociology of Emergence,
in Sociological Theory 20(2), 2002.
HOKKY
SITUNGKIR, Apa yang Bisa Kita Ketahui: Memperkenalkan Humaniora Integratif
Chaotik, Working Paper WPA2002, Bandung Fe Institute, 2002.
M
WALDROP, Complexity: The Emerging Science at the edge of order and
chaos, Simon & Schuster, 1993.
|
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU: menyatukan pecahan-pecahan
sosiologis
Ada
5 orang buta yang memperoleh kesempatan untuk berkunjung ke kebun binatang
di mana mereka dapat berinteraksi dengan gajah, maklum mereka buta sejak
dini dan tidak tahu bagaimana bentuk gajah tersebut. Yang satu memegangi
ekornya, dan berujar, "aha... gajah itu berbentuk tipis dan panjang",
yang memegangi kakinya berteriak, "wah, gajah itu kokoh, besar, berbentuk
lonjong dan tegak!", yang memegang telinganya berkata, "...gajah
itu berbentuk tipis", yang memegang belalainya berkata, "gajah
itu panjang, agak lonjong dan melayang!", sementara yang sempat menaiki
punggung gajah berkata, "wah, gajah itu besar sekali dan kita bisa
menaikinya!". Semua memegang gajah, namun dengan tak adanya referensi
bagaimana bentuk gajah, maka semua yakin dengan apa yang dipegangnya.
Bagaimana cara agar semua orang buta tersebut mengetahui bentuk gajah
yang sesungguhnya?
Berdasarkan sejarah,
sosiologi memang ilmu yang muncul dari berbagai spekulasi tentang masyarakat,
individu, interaksi sosial, struktur sosial, dan bagaimana struktur sosial
tersebut bertahan seurut dengan waktu. Namun seiring dengan perkembangan
waktu dan evolusi sains dalam peradaban manusia, maka berbagai pendekatan
empirik mulai dilakukan. Asumsi tak cukup lagi hanya disandarkan pada
akal sehat teoretisi, namun harus berlandaskan pada pengamatan dan jika
mungkin ada pengukuran tentang hal tersebut, ada pengetatan-pengetatan
dilakukan agar sosiologi tak terjebak ke perdebatan definitif, perdebatan
debat kusir yang senantiasa tidak memajukan PEMAHAMAN kita akan masyarakat.
Secara sepintas,
terlihat dengan jelas bahwa terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat besar
di antara teori-teori sosial yang ada. Misalnya, yang mendasarkan perhatian
pada struktur sosial akan berangkat dengan memperhatikan masyarakat condong
kepada fungsionalisme, sementara di sisi lain yang berfokus pada dinamika
masyarakat dan perubahan sosial akan cenderung untuk melihatnya dengan
landasan konflik; bahkan melihat pola kerja sama individual atau antar
kelompok dalam bentuk konflik pula, dan yang fokus pada bagaimana individu
dalam membentuk struktur sistem sosial dan sebaliknya sistem sosial mempengaruhi
perilaku individu melihatnya dengan kecondongan pada interaksionisme.
Demikian seterusnya, dan seiring dengan perkembangan waktu dan spesialisasi
obyek sosial yang hendak didekati, maka teori sosial akan cenderung terus
bertambah.
|
|
LEIGH
TESFATSION, Agent-Based Computational Economics: Growing Economics
from the Bottom-Up, Working Paper ISU Economics 1, Iowa State University,
2002.
R. A. HANNEMAN, RANDALL COLLINS, GABRIELE MORDT, "Discovering
Theory Dynamics by Computer Simulations: Experiments on State Legitimacy
and Imperialist Capitalism", Sociological Methodology 25:1-46,
1995.
N.
GILBERT, K. G. TROITZSCH, Simulation for the Social Scientist,
The Open University Press, 1998.
|
SOSIOLOGI
SEBAGAI ILMU: proses sosial dan model sosial
Sebagaimana dalam
perkembangan ilmu alam, ilmu sosial juga berusaha untuk mensinergikan
antara apa yang diamati di lapangan penelitian dan konstruksi teori sosial
tentang hal yang hendak diteliti. Statistika adalah ilmu yang paling sering
digunakan untuk melakukan berbagai hal yang mungkin diukur dalam sistem
sosial. Cara untuk membandingkan konstruksi teori sosial tersebut dengan
apa yang diperoleh di lapangan adalah dengan membangun model.
Pada dasarnya konstruksi teori sosial dapat secara sederhana disebut sebagai
model dari proses sosial yang diamati.
Namun memodelkan
sebuah sistem sosial bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini didasarkan pada
dua hal. Pertama, interaksi kompleks yang terlibat dalam sistem sosial
berarti bahwa hasil dari pemodelan tersebut sulit untuk dianalisis dengan
menggunakan pendekatan biasa (kompleksitas sintaktik).
Kedua, karakteristik dari fenomena sosial seringkali lebih baik didekati
dengan representasi semantik alias pendekatan
secara kualitatif biasa. Persoalannya adalah hal ini sangat sulit untuk
diterjemahkan dalam metode formal, sehingga mengakibatkan kesulitan melakukan
pengecekan dengan teori yang sudah ada selama ini.
Dalam ilmu alam,
masalah seperti ini tentu sangat mudah untuk diatasi. Model yang dibangun
dapat berbentuk simulasi. Simulasi menangkap struktur perilaku yang ada
di obyek yang diamati untuk kemudian diujicobakan ke 'miniatur-miniatur'
yang dibuat agar dapat menjelaskan fenomena yang terjadi. Contohnya adalah
upaya manusia dengan berbagai bangunan geometri matematika seperti bola,
lingkaran, balok, dan sebagainya yang dianggap sebagai struktur bentuk
di alam. Bumi kita katakan berbentuk bola, kotak kita anggap berbentuk
balok, lintasan peluru dikatakan berbentuk parabola, dan seterusnya. Simulasi
adalah suatu bentuk model di mana kita dapat mencobakan/bereksperimen
sedemikian hingga dapat mengetahui struktur yang ada di obyek nyata yang
dianalisis.
Bagaimana
cara mengetahui apakah sebuah gedung besar sudah tahan terhadap gempa?
Apakah kita membangun sebuah bangunan besar lalu menanti gempa datang
untuk mengetahui kekuatannya? Tentu tidak! Kita membuat bangunan dengan
konstruksi semirip mungkin dengan bangunan yang hendak kita bangun. Tentu
tak harus bangunan yang besarnya sama dengan yang kita bangun, kita bisa
membuat miniatur yang konstruksinya sama. Lalu kita simulasikan dengan
membuat getaran yang kira-kira mirip atau sama dengan gempa, apakah ledakan,
apakah dorongan, dan seterusnya. Dari sini kita tahu apakah bangunan yang
akan kita bangun dengan konstruksi yang sudah diujikan tersebut seberapa
kuat jika dilanda gempa.
Tentu ini sangat
berbeda dengan model yang menggunakan statistika. Kita lihat gambar di
bawah ini, tentang alur logis pemodelan dengan pengolahan dan pengumpulan
data dan dengan simulasi.
|
|
ROBERT
AXELROD, The Complexity of Cooperation: Agent-Based Models of Competition
and Colaboration, Princeton University Press, 1997.
T.
S. SMITH, G. T. STEVENS, "Emergence, Self-Organization, and Social
Interaction: Arousal-Dependent Structure in Social Systems",
Sociological Theory 14(2):131-153, 1996.
STEVEN
LEVY, Artificial Life: A Report from the Frontier Where Computers meet
Biology, Vintage, 1992.
|
Bagaimana
alur di atas dalam praktik analisis sosialnya?
Dalam melakukan simulasi
sosial, yang harus kita ingat dalam melakukan hal tersebut adalah kita
harus berhati-hati dalam membuat model dari fenomena sosial yang kita
amati. Kita harus dapat membatasi masalah berdasarkan
aspek dan perspektif yang kita amati. Hal ini sangat penting karena
sangat mungkin orang akan membuat model dari aspek dan perspektif yang
berbeda terhadap sebuah masyarakat. Selain itu, konteks masalah yang kita
amati juga harus jelas karena sangat mungkin orang menggunakan istilah
yang sama untuk konteks yang berbeda. Namun satu
hal yang pasti, kita dapat memecahkan suatu fenomena sosial dengan jauh
lebih baik ketika kita menggunakan sebanyak mungkin aspek dan perspektif,
meskipun aspek dan perspektif tersebut kontradiktif.
Pemodelan dan simulasi
selalu diawali dengan ketertarikan kita pada suatu fenomena di dunia nyata.
Fenomena ini kita namakan target. Tujuan selanjutnya adalah membuat model
dari fenomena (target) tersebut, yang lebih
sederhana dibandingkan dengan fenomena tersebut.
Dalam
model statistika, peneliti mengembangkan
sebuah model melalui suatu abstraksi dari suatu perkiraan tentang proses
sosial yang terjadi. Pada metode ini, biasanya model yang dikembangkan
berupa persamaan-persamaan matematis atau uraian-uraian kualitatif tentang
suatu hal. Selanjutnya seorang peneliti haruslah mengumpulkan beberapa
data yang akan digunakan untuk melakukan estimasi. Analisis yang dilakukan
selanjutnya terdiri dari : pertama, peneliti akan membandingkan apakah
prediksi yang dihasilkan oleh model memiliki kemiripan dengan data aktual
yang didapat. Kedua, peneliti mengukur besar dari parameter dan membandingkan
besar tersebut untuk mengidentifikasi parameter terpenting.
Untuk
membuat simulasi sosial, seperti pada
model statistika, seorang peneliti juga membangun suatu model dengan berasumsi
pada perkiraan proses sosial yang ada. Namun berbeda dengan model statistik
yang cenderung menggunakan persamaan matematis, model yang dibangun didasarkan
pada program komputer - alur kerja, urut-urutan dari proses sosial tersebut.
Program tersebut kemudian disimulasikan, yang berarti dijalankan pada
komputer, dan hasil yang didapat diamati. Model yang didapat digunakan
untuk memperoleh data hasil simulasi. Data hasil simulasi ini kemudian
dibandingkan dengan data yang didapat dari lapangan untuk dicek apakah
model yang dibangun menghasilkan output yang mirip dengan kondisi sebenarnya.
Kedua metode ini
dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena sosial yang
ada. Namun meskipun terdapat banyak kesamaan antara dua metode ini, terdapat
perbedaan yang sangat besar diantara keduanya. Bila model statistik bertujuan
untuk menjelaskan hubungan antara variabel yang terukur pada satu waktu
tertentu, simulasi sangat memperhatikan keseluruhan proses yang terjadi.
Dalam simulasi, dapat diperoleh penjelasan yang eksplisit tentang proses
yang terjadi pada fenomena sosial yang dimodelkan. Hal yang kontras terjadi
pada pemodelan secara statistik, yaitu pada metode ini akan dihasilkan
pola dari hubungan-hubungan antara variabel yang diukur, namun dia tidak
dapat memodelkan mekanisme yang mendasari hubungan-hubungan tersebut.
|
|