GEORGE
HERBERT MEAD, Mind, Self, and Society, University of Chicago Press,
1934.
GEORGE HERBERT MEAD, Selected Writings, edited by Andrew J. Reck,
Bobbs-Merrill, 1964.
HERBERT
BLUMER .
Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice-Hall, 1969.
E. GRIFFIN, A First Look at Communication Theory.
New York: The McGraw-Hill Companies, 1997.
HOWARD
S. BACKER & MICHAEL McCALL (editors), Symbolic Interaction and
Cultural Studies,University of Chicago Press, 1990.
ERVING
GOFFMAN, The Presentation of Self in Everyday Life, Doubleday,
1959
CHARLES
HORTON COOLEY, Human Nature and the Social Order, Schocken Books,
1964.
CHARLES
HORTON COOLEY, Social Organization: A Study of the Larger Mind,
Schocken Books, 1962.
WILLIAM I. THOMAS, "Life History",
American Journal of Sociology 79: 243-250, 1973
WILLIAM I. THOMAS, The Unadjusted Girl, Little Brown, 1923
|
MERETAS
JALAN SOSIOLOGI: interaksionisme simbol
Di
dekat sebuah warkop, tiga ekor anjing sedang berkelahi. Anjing yang satu
mulai menggertak dengan menggeram, menunjukkan deretan giginya, dan mulai
mengambil ancang-ancang untuk menyergap lawannya. Anjing kedua ketakutan,
lalu lari tunggang langgang karena tubuhnya memang paling kecil, sementara
anjing ketiga menanggapi yang pertama dengan juga menggeram dan menunjukkan
giginya, siap untuk balas menyerang. Anjing pertama setelah melihat reaksi
anjing ketiga akan menunjukkan perubahan diri, ia memperkeras geramannya.
Hal ini mengundang respon anjing ketiga tersebut, dan seterusnya.
Dua
mahasiswa yang sedang duduk di warkop tersebut melihat anjing yang berkelahi
itu, tadinya sedang bertukar cerita tentang orang tua masing-masing. Anak
pertama berseru melihat anjing yang hendak berkelahi itu, dan membelokkan
pembicaraan menjadi tentang anjingnya yang dua tahun lalu hilang. Ternyata
anak kedua tak menyukai topik pembicaraan itu, ia memberi respon dengan
melihat ke langit-langit, sesekali melihat jam tangannya, dan seterusnya.
Perilaku tiga anjing
dan dua mahasiswa itu merupakan ikhwal bahasa isyarat. Menunjukkan gigi
sambil menggeram, lari tunggang langgang, melihat langit-langit dan jam
tangan, dan seterusnya merupakan bahasa isyarat, masing-masing kemarahan,
rasa takut, dan kebosanan. Ini adalah inti dari teori interaksionisme
simbol yang didirikan oleh sosiolog Amerika, George
Herbert Mead (1863-1931), yang juga dikenal sebagai seorang sosiolog
pragmatis, karena ia berkeyakinan bahwa semua teori sosial yang ada harus
dapat diuji secara praktis, termasuk semua hal tentang kebenaran, pengetahuan,
moralitas, dan politik. Interaksionisme simbol merupakan teori yang dicanangkannya
sebagai studi perilaku individu dan atau kelompok kecil masyarakat melalui
serangkaian pengamatan dan deskripsi. Metode ini berlandaskan pada pengamatan
atas apa yang diekspresikan orang meliputi penampilannya, gerak-geriknya,
dan bahasa simbolik yang muncul dalam situasi sosial. Jadi sangat berbeda
dengan pendekatan yang terinspirasi dari Marxisme yang ingin mempelajari
seluruh sistem ekonomi dan politik, para interaksionis mengambil cara
pandang akan masyarakat dari bawah, sebagaimana situasi yang diciptakan
oleh individu-individu tersebut.
Dengan pendekatan
ini Mead dikenal juga sebagai seorang psikolog sosial, karena memang pada
akhirnya ia banyak berbicara tentang proses berfikir, konsep diri dalam
organisasi sosial, dan pola-pola pengambilan peran orang lain sebagai
dasar organisasi sosial.
Kontribusi untuk
teori sosial ini juga dilakukan oleh Charles Horton
Cooley (1864-1929), seorang sosiolog Amerika yang pernah dekat
dengan Mead. Cooley membangun teori relasi sosial yang tak bertitik berat
pada kondisi individual (MIKRO) maupun sosial
(MAKRO), dengan meyakini bahwa kedua hal
itu tak bisa dipisah-pisahkan. Cooley banyak berbicara tentang konsep
diri (disebutnya konsep melihat diri di kaca), sifat-sifat manusia, kelompok
primer dalam pembentukan sifat manusia, interaksi antara pemimpin politik
dan massanya, dan pentingnya arti sosial dalam nilai keuangan. Dalam beberapa
hal, Cooley menunjukkan dilema yang dihadapi antara hal-hal yang menjadi
warisan biologis dan hal-hal yang menjadi warisan lingkungan sosial.
Hal menarik yang
ditunjukkan oleh Cooley adalah perumpamaannya yang mengatakan bahwa sebuah
kapal yang dibangun oleh seratus orang yang berbeda, sangat berbeda dengan
seratus kapal yang masing-masing dibangun oleh satu orang untuk menjelaskan
terjadinya pandangan umum dalam masyarakat yang dibentuk oleh pandangan-pandangan
umum yang dimiliki oleh tiap individu yang membangun masyarakat. Pandangan
umum MEMBROJOL (emergent) dari pandangan-pandangan
individual. Inilah yang menjadi pusat kajiannya.
Di sisi lain, William
I. Thomas (1863-1947), juga sosiolog interaksionis Amerika, memusatkan
teorinya atas sifat saling ketergantungan organis antar individu dan lingkungan
sosialnya dengan metoda yang hampir dapat dikatakan sama dengan metode
Mead dan Cooley. Misalnya, Thomas berusaha mengidentifikasi faktor-faktor
psikologis dan biologis yang dibawa sejak lahir dan menjelaskan perilaku
manusia itu; ia menyimpulkan ada empat hal dasar keinginan manusia, yaitu
(1) keinginan untuk
pengalaman baru
(2) keinginan untuk dihargai
(3) keinginan untuk menguasai
(4) keinginan untuk merasa aman
Thomas yakin bahwa
perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan baik semata sebagai respon
reflektif dari stimulus lingkungan. Ia percaya bahwa ada definisi subyektif
yang penting yang ada di antara stimulus dan respon.
Interaksionisme simbol
Mead-Cooley-Thomas ini mendapat sambutan dari banyak sosiolog Amerika
bahkan hingga kini.
Manford
Kuhn (1904-1968),
sosiolog yang ingin menstrukturkan metodologi empiris dalam interaksionisme
simbol, menyatakan bahwa perlu beberapa perspektif teoretis yang sifatnya
terbatas yang tergabung dalam interaksionisme, yaitu teori peran, teori
kelompok referens, perspektif persepsi sosial dan persepsi pribadi, teori
diri, dan teori dramaturgi. Intinya, Kuhn ingin membuat strategi pengukuran
empiris atas konsep-konsep interaksionisme simbol tersebut. Kontribusinya
yang terkenal adalah 20-UJI-PERNYATAAN untuk mengukur analisis diri; isinya
adalah 20 respon yang diminta dari orang terhadap pertanyaan "Siapakah
saya?".
Hal ini ditentang
oleh seorang murid Mead, Herbert Blumer (1900-1987),
dengan mengatakan bahwa metoda pengukuran empiris itu bertentangan dengan
konsep BROJOLAN (emergence) dari kenyataan sosial. Bagi Blumer,
brojolan itu lahir dari aksi dan interaksi, dan segala upaya yang ingin
mengukur konsep diri tanpa memperhitungkan aksi dan interaksi berakibat
fatal dan gagal dalam mengukur konsep diri dalam sistem sosial. Bagi Blumer,
kenyataan sosial dan strukturnya pada dasarnya tak pernah tetap melainkan
terus memiliki dinamika oleh karena interaksi antar individu tak pernah
berhenti. Segi-segi struktural seperti budaya, sistem sosial, stratifikasi
sosial, atau peran sosial MEMBENTUK tindakan individu, tapi TIDAK MENENTUKAN
tindakan mereka. Orang yang bermain sebagai penjaga gawang dalam permainan
sepak bola TERBENTUK perilakunya dalam pertandingan sepak bola, tapi TIDAK
MENENTUKAN bagaimana ia harus bertindak saat gawangnya terancam serangan
lawan.
Seorang sosiolog
interaksionis lain, Erving Goffman (1922-1983),
menitikberatkan teorinya pada konsep dramaturgi. Ia menganalisis berbagai
strategi individu dalam meraup kepercayaan sosial melalui konsep-konsep
teater, seperti manajemen kesan dan sebagainya. Misalnya, ia menganalisis
bagaimana orang cenderung untuk saling menutupi kesalahan dengan teman,
atau minimal berpura-pura tidak tahu dan tidak memperhatikan kesalahan
teman, dan seterusnya. Pendeknya, baginya sosiologi adalah upaya membedah
interaksi antar individu atau kelompok kecil dengan audiensnya, yaitu
sistem sosial secara keseluruhan. Lebih jauh ia juga banyak berbicara
tentang dasar kontekstual interaksi sosial seperti PEMAHAMAN BERSAMA sebagai
KERANGKA di mana peristiwa-peristiwa sosial terjadi. Pendeknya dengan
memperhatikan simbol-simbol yang digunakan oleh individu dalam interaksi
sosial, interaksionis berkeinginan untuk mencari keterhubungan antara
BROJOLAN yang terjadi dari tingkat MIKROSOSIAL
ke MAKROSOSIAL secara komprehensif.
|
A
multiple personality is in a certain sense normal.
|
G H Mead
|
'I,'
'me,' 'my' and 'mine'was a matter of peculiar interest....we
may hope to make out what the self-idea actually is, in its naive
and comparatively simple form, in the form under which it functions
in the every day relations of life |
C H Cooley |
.
. . if men define situations as real, they are real in their consequences
|
W I Thomas
|
Symbolic
interactionism is the peculiar and distinctive character of interaction
as it takes place between human beings
|
Herbert Blumer
|
everyday
life is the foundation of social reality |
Erving Goffman |
|
DOUGLAS
KELLNER, The Frankfurt School and British Cultural Studies: The Missed
Articulation, Illuminations, 1999.
SCOTT
LASH, Sociology of Postmodernism, Routledge, 1990.
BRYAN
S. TURNER, Orientalism, Postmodernism, and Globalism, Routledge,
1994.
PIERRE
BOURDIEU, On Television, New Press, 1999.
ROLAN
BARTHES, Elements of Semiology, Jonathan Cape, 1964.
|
MERETAS JALAN SOSIOLOGI: studi-studi budaya
Budaya adalah sebuah
obyek studi yang menarik dalam sosiologi. Hal ini dikemukakan oleh teoretisi
sosial Douglas Kellner yang menunjukkan pentingnya
studi multidispliner dalam memahami budaya. Hal ini diawali di Inggris
oleh Studi Budaya Birmingham yang melihat
budaya dalam perspektif politik, kemasyarakatan dan budaya itu sendiri.
Studi budaya tidak lagi didominasi oleh studi obyek-obyek budaya tinggi
(avant-garde) namun juga membedah secara langsung budaya kontemporer
yang berkembang di tengah masyarakat, mulai dari komik, bacaan, sains,
hingga film.
Studi budaya seringkali
dikaitkan dengan studi-studi poskolonial yang hampir paralel dengan teori-teori
yang dikembangkan mazhab Frankfurt yang ingin membedah terjadinya penjajahan
baru melalui obyek-obyek kultural. Semangat ini dikembangkan dalam teoretisi
politik Amerika Serikat, Edward Said (1935-2003),
dengan konteks pembedaan struktur sosial di belahan barat dan timur.
Secara umum, studi
budaya menjalin studi yang melibatkan banyak analisis dan studi dalam
disiplin studi komunikasi, politik, ekonomi, dan studi tentang linguistik
atau semiologi. Semiologi merupakan bidang
ilmu yang mempelajari konsep tanda sebagai elemen penyusun obyek budaya.
Salah satu pengayaan
kajian sosiologi budaya dikembangkan oleh sosiolog Perancis, Pierre
Bordieu (1930-2002), yang mempelajari bagaimana pola budaya yang
terbentuk atas ruang pengalaman sosial manusia yang menyentuh hampir seluruh
sisi kehidupan masyarakat modern, mulai dari sains, budaya pop, televisi,
dan sebagainya.
|
like
the political and economic fields, and much more than the scientific,
artistic, literary, or juridical fields, the journalistic field
is permanently subject to trial by market, whether directly, through
advertisers, or indirectly, through audience ratings
|
Pierre Bourdieu
|
|
J. F. LYOTARD,
The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington
and Brian Massumi, Manchester University Press, 1984.
JAMES
WILLIAMS , Lyotard: Towards a Postmodern Philosophy (Cambridge:
Polity Press, 1998).
H.
F. HABER, Beyond Postmodern Politics : Lyotard, Rorty, Foucault,
New York : Routledge, 1994.
BEN
AGGER, "Postponing the Postmodern", Cultural Studies
1:37-46, 1996
BRYAN
S. TURNER, Orientalism, Postmodernism, and Globalism, Routledge,
1994.
ALAN
SOKAL, "Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative
Hermeneutics of Quantum Gravity". Social Text 46/47: 217-252,
1996.
HOKKY
SITUNGKIR, Cultural Studies thorugh Complexity Studies, Working
Paper WPM2004, Dept.Comp.Soc., Bandung Fe Institute.
DAVID
HARVEY, The Condition of Postmodernity, Basil Blackwell, 1989.
|
MERETAS
JALAN SOSIOLOGI: set-back posmodernisme
Jika
kita membicarakan sosiologi dan sejarah yang melahirkannya, seringkali
kita terjebak pada diskusi filsafat dan metafisika yang menjadi dasar
transendental lahirnya sebuah teori sosiologis. Ini tak terjadi pada bidang
ilmu alam, karena memang ilmu alam memiliki seperangkat piranti empiris
yang segera dapat menguji keabsahan sebuah teori. Sistem sosial sangat
berbeda dengan sistem di alam, karena ia sangat dekat dengan manusia dan
kehidupan sosialnya, obyek sains yang sangat tinggi derajat kebebasan
ruang pengalamannya.
Pengalaman ini dialami
oleh alam filosofis yang dikenal dengan posmodernisme. Pada awalnya, posmodernisme
adalah sebuah terminologi yang diungkapkan oleh sosiolog Perancis, Jean-François
Lyotard (1924-1998). Lyotard pada awalnya tertarik pada studi-studi
fenomenologi, dan filsafat paganisme. Ia berubah haluan dengan banyak
berbicara tentang kondisi posmodernisme. Dalam paradigma Lyotard, kondisi
posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial atas metanarasi.
Metanarasi diartikan sebagai cerita atau
teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari manusia yang menjadi
dasar dan pengabsahan pengetahuan dan praktik budaya. Lyotard menggambarkan
bagaimana situasi sosial setelah sekian lama dalam era modernisme (pasca
pencerahan) dalam mengembangkan teknologi komputer, digitalisasi di mana-mana
dan sebagainya dan mengkontraskannya dengan pendekatan filsafat sosial
klasik seperti Hegel, Marx, dan seterusnya.
Belakangan, pendapat
tentang posmodernisme yang seringkali memang bersandar pada studi linguistik
Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913),
berkembang menjadi studi filsafat dan linguistik yang juga menghasilkan
klaim-klaim dalam ilmu sosial. Inti pendekatan linguistik (disebut dengan
istilah INTERTEKSTUALITAS) difahami sebagai
rantai elemen bahasa yang bebas makna, karena satu kata ber-referensi
atas kata lain, dan kata lain ber-referensi atas kata lain dan seterusnya
dalam rantai yang luar biasa panjang. Hal ini memunculkan di antaranya
filsuf sosial dan kritikus budaya Perancis yang sarat kontroversi, Jean
Baudrillard, dua orang teoretisi Perancis, Gilles
Deleuze dan Felix Guattari, teoretisi
Frederic Jameson, dan sebagainya, dengan
berbagai pendapat dan terminologi yang mengimpor istilah-istilah sains,
khususnya fisika seperti teori chaos, dan sebagainya yang dianggap memelintir
makna istilah tersebut dari makna aslinya di fisika. Mereka menggunakan
banyak tradisi teori psikoanalisis Jaques Lacan
yang seringkali pula menggunakan terminologi serupa. Hal ini dikritik
dengan keras oleh fisikawan Alan Sokal, yang
menunjukkan seringnya pemelintiran istilah-istilah fisika ini dalam literatur
sosial dan bahkan tidak diakui sebagai sekadar metafora. Penggunaan istilah
ini cenderung menjadi tren tersendiri dalam kritik budaya yang cenderung
memperindah teks-teks yang ada namun cenderung miskin makna.
Hal inilah yang melahirkan
apa yang disebut 'perang sains' antara kritikus
budaya dan sekelompok fisikawan. Posmodernis atau juga akhirnya sering
disebut pos-strukturalis cenderung tetap untuk ngotot dengan cara mereka.
Para fisikawan tersebut di sisi lain tidak mau tahu dan menganggap hal
ini sebagai bentuk impotensi dari ilmuwan sosial. Hal ini menjadi skandal
dalam sains sosial, khususnya sains dan filsafat sosial Perancis abad
ke-20.
Dalam 'perang sains'
yang sangat merunyamkan pengembangan analitis sosiologi ini, beberapa
ilmuwan mengembangkan MESIN DADA dengan menunjukkan
bahwa filsuf-filsuf sosial tersebut memiliki semacam "ketakmampuan
mental", dirancanglah sebuah perangkat lunak komputer yang menggambarkan
cara menulis 'analisis' dengan pendekatan-pendekatan posmodern yang cenderung
menggunakan metafora-metafora yang rumit yang diimpor dari berbagai teks
ilmu alam, ilmu sosial klasik, sastra dan budaya pop, pembuatan terminologi
dan istilah baru, namun pada dasarnya tidak menunjukkan analisis apapun.
Kita tinggal memasukkan daftar pustaka, kata kunci, dan seterusnya untuk
menghasilkan karya-karya yang tak jauh berbeda dengan karya filsuf sosial
posmodernisme atau disertasi doktoral dalam studi posmodernisme (diuji
cobakan secara praktis dan terbukti). Hal ini merupakan tantangan yang
sangat berat bagi pengembangan ilmu sosial yang datang dari kekhilafan
akan lemahnya kesinambungan antara metodologi dan konstruksi teoretis.
|
that
the status of knowledge is altered as societies enter what is
known as the postindustrial age and cultures enter what is known
as the postmodern age
|
J. F Lyotard
|
|
JOHN
MAYNARD KEYNES, The General Theory of Employment, Interest and Money,
Macmillan, 1936.
STEVE KEEN, Debunking Economics: The Naked Emperor
of the Social Sciences, Pluto Press, 2001.
J. R. HICKS, "Mr Keynes and the 'Classics':
a suggested interpretation", Econometrica 5: 147-159.
|
MERETAS
JALAN SOSIOLOGI: obyek-obyek ekonomi
Bagaimanapun, hari
ini ekonomi telah menjadi disiplin ilmu tersendiri yang berkenaan dengan
analisis masyarakat dengan aspek-aspek khusus sebagai efek dari modernisme
dan penggunaan yang sangat luas uang dan modal. Ekonomi sendiri bahkan
menjadi sedemikian luas sehingga perlu mendapat kategorisasi atas berdasarkan
obyek yang hendak menjadi fokus studinya, yaitu MAKROEKONOMI
dan MIKROEKONOMI.
Ekonomi biasanya
berbicara tentang akumulasi modal, alokasi sumber daya, masalah tenaga
kerja, mata uang, bank, dan sebagainya yang telah berdiri sendiri sebagai
kaisar yang sangat populer dalam urusan kemasyarakatan, pemerintahan,
dan politik. Sejarah perkembangan ekonomi telah bersimpangan dengan sejarah
perkembangan sosiologi sendiri. Pengembangan pasca Adam Smith telah sedemikian
jauh dan terspesialisasi atas masalah-masalah seperti pengangguran, mobilitas
regional, hingga ke motif-motif ekonomi. Tak jarang memang kebijakan ekonomi
mengandung kebijakan-kebijakan politik dan sebaliknya. Tokoh ekonomi modern
yang terkenal adalah John Maynard Keynes (1883-1946)
yang selama depresi dunia 1930 menjelaskan siklus pasang surut ekonomi
yang menggerogoti kapitalisme. Keynes dikenal dan menjadi inspirasi atas
teorinya tentang ketenagakerjaan, interes, uang dan fluktuasi ekonomi.
Saat ini teori Keynes
telah sangat banyak mendapat perubahan dengan pengembangan berbagai model
matematika dan komputasi yang secara khusus membahas berbagai fenomena
ekonomi.
|
If
only the cake were not cut but was allowed to grow in the geometrical
proportion predicted by Malthus of population, but not less true
of compound interest, perhaps a day might come when there would
at last be enough to go round, and when posterity could enter
into the enjoyment of our labours.
|
J M Keynes
|
|